20 Juta Kasus Keracunan Terjadi, Indonesia Butuh Teknologi Keamanan Pangan

Jakarta – Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tahun 2019 menunjukkan bahwa sekitar 600 juta, atau hampir satu dari 10 orang di dunia, jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Jumlah yang signifikan ini menandakan pentingnya memberikan perhatian khusus pada masalah keamanan pangan bagi setiap pemangku kepentingan dalam industri makanan di seluruh dunia.
Menurut data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di Indonesia ada sekitar 20 juta kasus keracunan makanan setiap tahun, mendorong otoritas untuk melihat lebih dekat pada produksi makanan dan rantai pasokan makanan untuk melindungi konsumen dari konsumsi makanan yang menyebabkan penyakit serta gangguan kesehatan lainnya seperti alergi yang mungkin memiliki konsekuensi fatal.
Keamanan pangan mengacu pada penanganan yang tepat pada proses memasak dan pengawetan makanan untuk melindungi konsumen dari potensi penyakit ketika mengonsumsi makanan, yang biasanya disebabkan oleh makrobial seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Penting untuk memastikan keamanan pangan, mengingat dampaknya yang besar pada pembangunan sosial ekonomi suatu negara dan pertumbuhan lintas-sektoral. Sementara metode penilaian untuk mengukur keamanan pangan bervariasi dari satu negara ke negara lain, teknologi memainkan peran penting dalam memastikan efektivitas pengendalian keamanan pangan.
Indonesia telah menganut Era Industri 4.0 di mana konsep otomasi telah banyak digunakan untuk berbagai industri, termasuk industri makanan. Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Perindustrian, bahkan telah menetapkan ‘Peta Jalan Indonesia 4.0’ untuk mendukung negara dalam merangkul era Industri 4.0.
Sektor makanan dan minuman termasuk dalam 5 sektor teratas yang akan diprioritaskan dalam peta jalan3 tersebut. Guna mendukung hal tersebut, BPOM telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam mempercepat time to the market salah satunya dengan digitalisasi melalui (1) debirokratisasi dan simplifikasi bisnis proses pelayanan publik, (2) deregulasi peraturan dalam mendukung peningkatan daya saing, serta (3) digitalisasi pelayanan publik antara lain dengan penambahan variasi layanan, pelayanan on site, dan coaching clinic, serta pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran (online registration) dan database, dashboard tracking layanan publik.
Dr Kent Bradley, Ketua, Dewan Penasihat Nutrisi di Herbalife Nutrition, perusahaan nutrisi global terkemuka, mengatakan “Ada tiga kemajuan teknologi yang membawa tingkat transparansi dan insight yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuka jalan bagi masa depan pangan yang lebih aman. Teknologi tersebut adalah blockchain, industri internet of things (IoT) dan Next Generation Sequencing (NGS).
Penggunaan teknologi blockchain memberi kemampuan bagi organisasi untuk merekam dan mengamankan jenis data yang selalu berubah dan berbeda. Blockchain akan secara eksponensial memperkuat keterlacakan produk yang mungkin tidak boleh dikonsumsi.”
Kedua, munculnya IoT industrial telah mendorong inovasi teknologi sensor yang secara akurat dan konsisten menangkap dan mengkomunikasikan data. Kemajuan dalam jaringan, penyimpanan, dan pemrosesan telah menciptakan pasar massal untuk sensor yang mengirimkan data secara real-time dari seluruh rantai pasokan makanan.
“Data net-baru yang dikumpulkan oleh sensor inovatif dimanfaatkan untuk membangun pabrik manufaktur makanan yang lebih aman dan beroperasi lebih efisien, memantau kontaminasi yang tidak diinginkan, dan melindungi konsumen dari makanan berkualitas buruk. Masing-masing dari potensi ini akan memperkuat program keamanan pangan dan membantu merek mengidentifikasi masalah dengan lebih akurat dan lebih awal,” kata Kent.
Teknologi ketiga adalah pengujian makanan berbasis NGS serta perangkat lunak analitik yang memiliki potensi untuk meningkatkan skalabilitas dan aksesibilitas keamanan pangan dan ukuran kualitas secara signifikan.
Kent menambahkan bahwa pengujian berbasis NGS memiliki batas deteksi yang sangat rendah; peningkatan sensitivitas NGS menghasilkan hasil yang lebih akurat dengan tingkat spesifisitas dan resolusi yang jauh lebih tinggi dalam satu tes tunggal.
Hasil pengujian memberikan informasi yang dapat segera ditindaklanjuti, dengan biaya lebih rendah. Hasil adopsi NGS akan menjadi program pengujian keamanan pangan dengan akurat yang memberikan insight yang belum pernah terjadi sebelumnya ke rantai pasokan pada tingkat dan skala baru.
Sistem keamanan pangan harus seiring dengan cara makanan tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Ini membutuhkan investasi berkelanjutan dan pendekatan multi-sektoral yang terkoordinasi termasuk dalam peraturan perundang-undangan, praktik manufaktur yang baik, kapasitas laboratorium yang terakreditasi, dan program pengawasan penyakit serta pemantauan makanan yang memadai, yang semuanya perlu didukung oleh teknologi informasi, pertukaran informasi, pelatihan dan pendidikan.
Terakhir, kemajuan teknologi meningkatkan kemampuan kita untuk memastikan integritas pasokan makanan, namun konsumen sering tidak menyadari kemungkinan variasi kualitas produk yang mereka konsumsi. Salah satu cara paling efektif untuk mengurangi masalah keamanan pangan adalah dengan mengedukasi konsumen tentang variabilitas ini dan memberikan mereka informasi yang dapat mereka gunakan untuk membantu mengidentifikasi masalah keamanan pangan.
Untuk terus mengadvokasi keamanan pangan, Herbalife Nutrition mengikuti Responsible Business Forum on Food & Agriculture pada bulan November 2019, yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS, dan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Indonesia, bersama dengan Global Initiatives dan the Indonesian Business Council for Sustainable Development.
Membawa tema ‘Inovasi sistem pangan untuk mencapai SDG 2: Mengembangkan Rencana Aksi Nasional’, Herbalife Nutrition berbagi sesi bicara dengan pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, LSM dan komunitas pembangunan, investor dan akademisi, untuk berbagi wawasan tentang dua tantangan nutrisi di Indonesia: obesitas dan stunting.

Comments