Apakah Konektivitas yang Lebih Cepat dengan 5G memicu Serangan yang Lebih Cepat?

Jakarta, Selular.ID – Seiring dengan perjalanan Indonesia melakukan transformasi digital memasuki era Industri 4.0, implementasi 5G sudah sepantasnya menjadi bagian dari rencana itu. Hal ini tak mengejutkan, karena riset Canalys baru-baru ini menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar smartphone dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara. Jaringan 5G yang memiliki latensi rendah dan badnwidth super tinggi diperkirakan dapat menangani hingga satu juta perangkat per kilometer persegi. Angka ini cukup signifikan karena berdasarkan perkiraan IDC pada 2025 nanti akan ada 41,6 miliar perangkat IoT (Internet of Things) yang terhubung di seluruh dunia.
Namun, manfaat yang didapat dari jaringan 5G juga dapat digunakan untuk melakukan berbagai tindakan kejahatan. Volume dan kecepatan aliran data yang tinggi pada jaringan 5G serta peningkatan jumlah perangkat yang diperkirakan akan terhubung pada jaringan ini, memberikan peluang yang lebih besar bagi para pelaku kejahatan siber untuk meluncurkan serangan mereka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi aparat, pembuat kebijakan, dan penyedia layanan di seluruh dunia.
Gelombang Kerentanan Baru di Jaringan 5G
IoT telah berkembang pesat, mulai dari penemuan pemanggang roti yang dapat dikendalikan melalui Internet pada 1990, perangkat smart home yang terhubung ke Internet seperti Alexa dari Amazon, dan termasuk saat ini, sistem yang mengendalikan infrastruktur publik seperti jaringan listrik. Seiring dengan upaya Indonesia untuk mendorong dan mengimplementasikan inisiatif smart city, satu hal yang tidak berubah: perangkat IoT akan terus menjadi perangkat yang paling sering dieksploitasi karena belum adanya regulasi industri IoT. Fakta bahwa banyak produsen yang masih memproduksi perangkat IoT tanpa mempertimbangkan aspek keamanan, ditambah dengan miliaran perangkat IoT yang tidak memiliki perlindungan keamanan yang dibutuhkan, membuat para pelaku kejahatan memiliki banyak peluang untuk meluncurkan serangan tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal.
Pada awal 2019 lalu, kerentanan firewall membuat peretas dapat menyerang jaringan listrik di Amerika Serikat (AS), dan menyebabkan pemadaman massal. Hal ini terjadi karena firmware yang gagal diperbaharui (di-update) oleh operator jaringan listrik. Selain itu, beberapa analis keamanan mendeteksi sekelompok peretas memindai jaringan listrik di seluruh AS untuk mencari akses ke jaringan listrik yang lebih besar. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat bahwa baik AS maupun Rusia saling meluncurkan serangan siber ke jaringan listrik masing-masing sebagai bagian dari permainan politik mereka. Di negara seperti Indonesia yang pemerintahnya sedang giat mengembangkan ekosistem digital, serangan semacam ini bisa sangat menghancurkan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap proyek-proyek digitalisasi yuang dilakukan pemerintah.
Munculnya perangkat-perangkat IoT, juga berarti kian maraknya thingbot yang akan semakin memperburuk masalah ini. Pada April 2019, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan 232 juta serangan siber di Indonesia. Besarnya serangan siber tersebut membuat perangkat IoT juga rentan terhadap serangan. Ibaratnya sebuah retakan kecil yang mulai membesar di suatu bendungan, ketika satu perangkat IoT disusupi, maka hal ini sudah cukup untuk menyebabkan banjir serangan siber yang dapat melumpuhkan sistem-sistem penting.
Jika Anda menggunakan webcam dengan firmware yang belum diperbarui, perangkat ini dapat dengan mudah dieksploitasi oleh penjahat siber untuk menyebarkan malware ke seluruh infrastruktur jaringan yang lebih besar. Yang perlu dilakukan penjahat siber masa kini adalah memindai dan menerapkan serangan brute-force pada perangkat-perangkat yang rentan, menginstal malware, dan membuat thingbot otomatis untuk memulai sebuah serangan.
Mengamankan Bisnis Anda di Jaringan 5G
Agar bisa menanggulangi ancaman-ancaman ini, aparat dan lembaga pemerintah tak hanya perlu membuat pedoman dalam menyadarkan perusahaan dan mengajarkan bagaimana lebih siap dalam menghadapi ancaman-ancaman ini, namun juga perlu menegakkan peraturan yang mengharuskan produsen IoT merancang produk dengan mempertimbangkan aspek keamanan.
BSSN didirikan pada 2018 untuk mengantisipasi perkembangan pesat di ruang siber. Salah satu inisiatif terbaru BSSN diantaranya adalah membuat regulasi untuk meningkatkan kemampuan keamanan siber di Indonesia, sesuai Global Cybersecurity Index (GCI). Regulasi ini bertujuan untuk memberi panduan bagi semua pihak yang terlibat dalam melakukan berbagai perbaikan terhadap kemampuan keamanan siber di tanah air.
Produsen perangkat IoT dan para penyedia layanan juga memiliki peran penting dalam memastikan agar keamanan tetap menjadi prioritas utama pada desain produk, dan merilis pembaruan firmware secara berkala untuk memastikan agar perangkat-perangkat tersebut mampu menangkal serangan-serangan IoT jenis baru, seiring dengan makin banyaknya perangkat terkoneksi, yang dijalankan dalam jaringan 5G.
Bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan perangkat IoT, sangat penting untuk memiliki strategi mitigasi, serta kerangka kerja keamanan yang kuat dalam pencegahan Distributed Denial of Service (DDoS). Penting juga bagi berbagai perusahaan untuk menyadarkan para karyawan tentang potensi bahaya dari perangkat IoT dan cara penggunaan yang aman guna melindungi sistem mereka.
Meskipun tidak ada ‘obat mujarab’ untuk semua persoalan keamanan siber, memiliki kombinasi ‘antibiotik’ yang tepat akan sangat membantu membangun kekebalan kita terhadap ancaman yang berkembang di dunia baru 5G yang penuh tantangan.

Comments