Jakarta -
Perusahaan Indonesia masih menggunakan software bajakan, di mana itu rentan terinfeksi malware yang mengakibatkan privasi dan data pribadi konsumen terancam bocor. SAFEnet, organisasi regional yang bergerak di bidang perlindungan hak-hak digital warga, mendesak para perusahaan untuk mengadopsi software asli.
Berdasarkan laporan BSA Global Software Survey 2018, tingkat pemakaian perangkat lunak bajakan di Indonesia mencapai 83%. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan rata-rata di Asia Pasifik sebesar 57%.
Dengan persentase yang tinggi tersebut, data pribadi warga yang tersimpan di komputer-komputer perusahaan rentan terhadap ancaman siber. Secara khusus, SAFEnet menyerukan agar pebisnis di sektor perbankan, keuangan, teknologi, dan e-commerce untuk sepenuhnya menggunakan perangkat lunak resmi guna melindungi data sensitif pelanggan mereka.
Laporan Investigasi Pelanggaran Data Verizon pada 2015 mengungkapkan, ada lebih dari 317 juta malware baru muncul. Artinya, hampir satu juta baru malware dilepaskan setiap harinya. Bahkan, diperkirakan banyak usaha bisnis yang diserang ransomeware setiap 14 detik. Hal ini yang membuat PC dengan software bajakan rentan jadi korbannya.
"Tentu ini akan membuat PC dengan perangkat lunak bajakan rentan menjadi sasaran empuk bagi penjahat siber," ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniar dalam siaran persnya, Selasa (3/3/2020).
"Dengan mempercayakan informasi pribadi yang sensitif kepada bank dan perusahaan teknologi, setiap orang memiliki hak untuk mengetahui apakah mereka menyimpan data kami dengan aman dan bertanggung jawab atau tidak," tuturnya.
Saat ini, setiap pihaknya yang menyimpan data pribadi, mulai dari kartu identitas pribadi, informasi kartu kredit, atau kebiasaan pembeliaan, perusahaan keuangan dan teknologi ini harus bertanggungjawab dalam mengamankan data-datanya.
Sementara di sisi lain, kejahatan siber makin canggih. Komplotan penjahat juga memakai teknologi tinggi untuk bisa membobol data yang disimpan, misalnya mencuri data dari PC perusahaan yang terinfeksi malware. Padahal di perangkat tersebut tersimpan informasi berharga.
Belum lama ini, tepatnya di awal 2020, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bekerja sama dengan Interpol yang berhasil menangkap tiga tersangka kasus peretasan setidaknya 12 situs e-commerce. Para ahli keamanan siber menduga komplotan yang sama berada di balik pencurian dana kartu kredit di 571 toko online di berbagai negara.
"Di Indonesia, kasus-kasu pembobolan kebanyakan karena korbannya adalah public figure atau kasusnya sensasional. Namun faktanya, ada lebih banyak kasus pembobolan yang tidak terungkap, padahal ini berdampak para orang biasa, seperti Anda dan saya," ucap Damar.
Dengan perusahaan-perusahaan yang masih mengandalkan software bajakan, kata Damar, itu sama halnya seperti bom waktu untuk dibobol.
Beralih ke software resmi dinilai dapat meminimalisir risiko terhadap pelanggaran data yang mengorbankan pelanggan mereka.
"Sudah saatnya bagi CEO di Indonesia untuk secara proaktif memastikan mereka melakukan semua yang mereka bisa untuk melindungi data konsumen, salah satu caranya adalah dengan menggunakan perangkat lunak yang resmi," pungkasnya.
Comments
Post a Comment