CekFakta #98 Misinformasi di Layar Televisi

Warga Amerika menyaksikan siaran hasil sementara Pemilu AS melalui televisi di Sydney, Australia, 4 November 2020. REUTERS


   Dua anggota parlemen Amerika Serikat baru-baru ini mengirim surat ke perusahaan televisi kabel. Mereka mendesak perusahaan-perusahaan itu mengatasi penyebaran misinformasi dari sejumlah saluran. Pada dasarnya, misinformasi menyebar lewat ekosistem yang kompleks. Kabar palsu merebak secara online, yang kemudian diperkuat dengan siaran dari saluran berita kabel, lalu menyebar lebih luas.


Program vaksinasi Covid-19 telah berjalan di berbagai negara dalam beberapa bulan terakhir. Menurut ahli, vaksinasi bukan satu-satunya solusi dalam menangani pandemi Covid-19. Namun, berdasarkan temuan awal, vaksinasi mulai menunjukkan hasil yang positif. Sejumlah negara pun melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keyakinan masyarakat terhadap vaksin Covid-19.


Halo pembaca nawala Cek Fakta Tempo! Pada 22 Februari 2021, sebuah surat dilayangkan oleh dua anggota parlemen AS dari Partai Demokrat ke sejumlah perusahaan televisi kabel, menuntut mereka menangani penyebaran hoaks dari saluran-saluran yang disiarkannya. Informasi palsu memang kerap ditemukan dalam tayangan di stasiun televisi sejak lama, mulai dari stasiun televisi di AS, Indonesia, hingga Turki. Mengapa ini terjadi dan apa hal yang harus dilakukan untuk menangkal peredaran misinformasi di sana?


Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.


Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.


MISINFORMASI DI LAYAR TELEVISI


Anggota parlemen Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Anna Eshoo dan Jerry McNerney, mengirim surat ke sejumlah perusahaan televisi kabel, televisi satelit, dan video streaming di negaranya pada 22 Februari 2021 lalu. Mereka mendesak perusahaan-perusahaan itu untuk mengatasi penyebaran misinformasi dari sejumlah saluran kepada jutaan penggunanya. Perusahaan yang mendapatkan surat ini antara lain Alphabet, Apple Inc, Amazon.com Inc, AT&T Inc, Verizon Communications Inc, Roku, Comcast, Charter Communications, dan DISH.


Surat itu menyatakan perusahaan-perusahaan ini memainkan “peran utama dalam penyebaran misinformasi yang berbahaya, yang memungkinkan pemberontakan pada 6 Januari (di US Capitol, Washington DC) dan menghalangi respons kesehatan masyarakat terhadap pandemi saat ini”. Surat tersebut juga menuturkan bahwa “media sayap kanan, seperti Newsmax, One America News Network (OANN), dan Fox News (yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan di atas), menyiarkan misinformasi tentang Pemilu AS pada November 2020”.


Dalam surat ini, disinggung pula studi dari organisasi nonprofit yang fokus pada misinformasi di media AS, Media Matters for America, yang menemukan bahwa Fox News mendorong misinformasi terkait virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, sebanyak 253 kali hanya dalam lima hari pada Juli 2020. Klaim-klaim itu meragukan penelitian ilmiah tentang pandemi, mengikis kepercayaan terhadap para ahli kesehatan dan rekomendasi kebijakan, menyerukan pembukaan kembali sekolah dan bisnis tanpa memperhatikan protokol kesehatan, serta mempolitisasi tanggapan negara terhadap SARS-CoV-2.


Menurut laporan Axios, teori konspirasi, klaim palsu terkait pemilu, propaganda anti-vaksin, dan jenis misinformasi lainnya menyebar melalui ekosistem yang kompleks. Kebohongan merebak secara online, kemudian menguat ketika saluran berita kabel mengulanginya, dan menyebar lebih jauh lewat media sosial. “Memutus siklus ini akan membutuhkan lebih dari sekadar moderasi konten yang lebih ketat oleh platform online,” demikian laporan Axios.


Masih teringat di benak kita, dalam gelaran Pemilihan Presiden 2014 di Indonesia, stasiun televisi tvOne sempat menayangkan survei palsu yang berasal dari laman jurnalisme warga iReport. Laporan itu menyatakan 52 persen responden yakin Prabowo bakal memenangi Pilpres 2014, sementara responden yang mendukung Jokowi hanya 42 persen. Dalam laporan ini, tercantum nama Gallup Indonesia Poll sebagai lembaga yang melakukan survei. Ternyata, laporan tersebut adalah rekayasa dari survei Gallup terkait calon Presiden AS Barack Obama pada 2008. Berita itu pun ditarik oleh tvOne, yang kemudian menyatakan permintaan maafnya.


Pada 2016, giliran stasiun-stasiun televisi lain yang menayangkan informasi yang tidak akurat, dan akhirnya dikenai sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu stasiun televisi, Metro TV, diberi sanksi karena menyiarkan informasi soal terjadinya ledakan di wilayah Palmerah, Jakarta Barat, usai peristiwa pengeboman di pos polisi di dekat pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat. TVRI juga dikenai sanksi karena menampilkan running text bahwa “ancaman bom dilakukan di Palmerah, Jakarta, dan Alam Sutera, Tangerang Selatan”.


Kesalahan semacam itu tidak hanya dilakukan oleh stasiun televisi di AS dan Indonesia, tapi juga di negara lain, salah satunya Turki. Pada April 2019, salah satu stasiun televisi terkemuka di negara itu, CNN Turk, versi lokal dari situs media AS CNN, menayangkan foto Wali Kota Istanbul yang merupakan hasil rekayasa. Faktanya, foto itu adalah foto Mansur Yavas, Wali Kota Ankara. Setelah mengetahui kesalahannya, CNN meminta maaf.

Menurut Mehmet Atakan Foca, pemimpin redaksi situs cek fakta Teyit, salah satu alasan mengapa stasiun televisi menerbitkan misinformasi adalah kekurangan waktu. Produser berita dipaksa menggerakkan siklus berita dalam 24 jam nonstop dengan menayangkan gambar dan video. “Mereka tidak punya cukup waktu untuk memeriksa itu. Saya yakin sebagian besar misinformasi yang disiarkan di televisi tidak sengaja dipublikasikan di sana,” ujar Atakan.


Jurnalis senior CNN, Oliver Darcy, menulis bahwa stasiun televisi seharusnya tidak luput dari pengawasan karena ikut menyebarkan misinformasi. “Entah bagaimana, perusahaan-perusahaan ini telah lolos dari pengawasan dan sepenuhnya menghindari diskusi soal ini,” ujarnya. Setelah insiden penyerangan US Capitol, kata Darcy, sudah saatnya operator televisi menghadapi pertanyaan karena meminjamkan platform mereka kepada perusahaan yang tidak jujur yang mengambil untung dari teori konspirasi dan disinformasi.


“Bagaimanapun, kebohongan yang disebarkan oleh Fox News, Newsmax, dan OANN itulah yang mendorong pendukung utama Trump tidak mempercayai kebenaran, bahwa Trump kalah dalam pemilihan yang jujur dan adil,” tutur Darcy. Menurut dia, sejumlah tokoh publik bertanggung jawab atas kebohongan yang mereka jual kepada audiensnya. “Tapi perusahaan televisi yang memancarkannya ke jutaan rumah di seluruh negeri juga ikut bertanggung jawab. Namun, kita jarang membicarakannya,” kata Darcy.


Yang melegakan, saat Trump secara keliru mengklaim kemenangan dalam Pilpres AS pada pidato yang ditayangkan di televisi pada 5 November 2020, beberapa jaringan berinisiatif menghentikan siaran tersebut untuk memperbaiki informasi yang keliru ini. MSNBC menjadi yang pertama, di mana pembawa berita mereka ketika itu, Brian Williams, memotong siaran hanya dalam waktu 35 detik untuk melakukan pengecekan fakta terhadap klaim Trump soal “suara ilegal”. Langkah yang sama diambil oleh ABC, CBS, CNBC, dan NBC.


Ini bukan pertama kalinya jaringan memilih untuk tidak menayangkan pernyataan Trump. Pada Maret 2020, beberapa stasiun televisi mengakhiri siaran langsung yang berisi pengarahan Trump tentang pandemi Covid-19. Mereka adalah CNN, MSNBC, ABC, CBS, dan NBC. Ketika itu, Trump marah pada gagasan untuk melanjutkan kebijakan yang mengharuskan warga tetap tinggal di rumah, dengan mengatakan bahwa hal itu merugikan ekonomi. Sebelumnya, pakar penyakit menular Trump, Anthony Fauci, mengatakan bahwa menjaga jarak sosial perlu dilakukan selama beberapa minggu.


Menurut peneliti senior Centre for Advancing Journalism University of Melbourne, Denis Muller, pembungkaman pejabat publik adalah “pencabutan” yang sangat serius dari tugas media dalam demokrasi. Tapi hal yang sama terjadi ketika media membiarkan platformnya digunakan sedemikian rupa untuk menimbulkan ketakutan publik dalam proses demokrasi, dan bahkan keselamatan publik. “Dalam praktiknya, banyak jaringan besar memprioritaskan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, dan keselamatan publik, ketimbang melaporkan pernyataan presiden,” ujarnya.


Muller mengatakan norma utama jurnalisme adalah menginformasikan kepada publik. Dalam tugasnya ini, media mesti bersikap adil dan akurat. Tapi, jika sebuah berita mengandung kebohongan, normanya adalah menginformasikan hal tersebut dan meluruskannya secepat mungkin. Muller berujar, “Jaringan perlu menjelaskan kepada khalayak alasan mereka di balik keputusan untuk memotong siaran, dan media secara keseluruhan perlu menyadari bahwa, jika jurnalisme rusak, itu hanya menambah kekacauan tragis di negara mereka.”


KABAR BAIK VAKSIN COVID-19


Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.


Negara-negara di berbagai belahan dunia telah memulai program vaksinasi Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir. Meskipun sejumlah ahli mengatakan bahwa vaksinasi bukanlah satu-satunya solusi dalam menangani pandemi Covid-19, berdasarkan data temuan awal di sejumlah negara, upaya tersebut mulai menunjukkan hasil yang positif dalam menurunkan kasus Covid-19. Berbagai upaya pun dilakukan untuk meningkatkan keyakinan masyarakat terhadap keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19.

- Program vaksinasi Covid-19 di Inggris diklaim mengurangi kasus Covid-19 secara signifikan. Menurut pejabat kesehatan Inggris, angka infeksi turun sekitar 70 persen pada petugas kesehatan yang telah mendapatkan dosis pertama vaksin Pfizer-BioNTech. Hasil studi Kesehatan Masyarakat Inggris (PHE) juga menunjukkan satu dosis vaksin Pfizer pada lansia efektif melawan Covid-19 simtomatik hingga 57 persen, dan dosis kedua meningkatkan perlindungan hingga lebih dari 85 persen.


- Susan Hopkins, direktur respons strategis PHE, mengatakan, “Vaksin memberikan efek yang kuat untuk mengurangi infeksi Covid-19, baik yang tanpa gejala maupun yang bergejala”. Kepala imunisasi PHE, Mary Ramsay, juga mengatakan bahwa ini adalah “bukti kuat vaksin Pfizer bisa mencegah seseorang terinfeksi Covid-19, sekaligus mencegah rawat inap dan kematian akibat Covid-19”.


- Studi pendahuluan di Skotlandia menunjukkan vaksinasi berhasil mengurangi risiko rawat inap akibat Covid-19. Menurut peneliti, berdasarkan temuan ini, vaksin Pfizer dan Oxford-AstraZeneca efektif dalam mencegah infeksi yang parah. Pada minggu keempat setelah menerima dosis awal, vaksin Pfizer mengurangi risiko seseorang dirawat di rumah sakit akibat Covid-19 hingga 85 persen. Sementara vaksin AstraZeneca mengurangi risiko rawat inap hingga 94 persen.


- Di Israel, menurut penelitian yang diterbitkan di New England Journal of Medicine, dua dosis vaksin Pfizer mencegah 94 persen kasus Covid-19 pada 596.618 penerima vaksin pada 20 Desember 2020-1 Februari 2021, di mana sekitar seperempatnya berusia di atas 60 tahun. Raina MacIntyre, profesor biosekuriti University of New South Wales mengatakan, “Pada tingkat efikasi di Israel, vaksinasi terhadap 60-70 persen populasi seharusnya cukup untuk mencegah penularan serta penyakit dan kematian akibat Covid-19.”


- Pengadaan vaksin Covid-19 yang bervariasi di Serbia menempatkan negara ini di posisi terdepan dalam program vaksinasi di Eropa. Perdana Menteri Serbia adalah pemimpin Eropa pertama yang menerima vaksin Pfizer. Menteri urusan dalam negeri Russophile menerima vaksin Sputnik V, sementara menteri kesehatan menerima vaksin Sinopharm. Hal ini menjadi salah satu cara pemerintah untuk meyakinkan masyarakat Serbia yang skeptis dengan keamanan vaksin Covid-19.


- Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan kehalalan vaksin Covid-19 menentukan kesuksesan program vaksinasi. “Sebanyak 81,9 persen responden bilang bersedia vaksinasi kalau vaksin halal,” katanya pada 21 Februari 2021. Burhanuddin menilai Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagai mantan petinggi Majelis Ulama Indonesia harus ikut mensosialisasikan kehalalan vaksin.

WAKTUNYA TRIVIA! 


Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Facebook menghapus halaman utama militer Myanmar, Tatmadaw True News Information Team Page, di platformnya pada 21 Februari 2021. Penghapusan ini diambil berdasarkan kebijakan Facebook yang melarang hasutan kekerasan, sehari setelah dua pengunjuk rasa tewas ketika polisi melepaskan tembakan di tengah gelaran demonstrasi yang menentang kudeta 1 Februari.


- Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyerukan pembebasan jurnalis Yaman, Adel al-Hasani, yang pada awal Februari lalu diketahui telah ditahan lebih dari lima bulan. Hasani ditahan di sebuah pos pemeriksaan di pinggiran Aden sejak September 2020. Ketika itu, ia sedang bertugas untuk membebaskan dua jurnalis Eropa yang ditahan di kota pelabuhan Mocha, yang kemudian dideportasi.


- Upaya Facebook untuk mengawasi iklan yang berisi misinformasi tentang vaksin tidak sengaja memblokir pesan dari pemerintah kota, penyedia layanan kesehatan, dan komunitas yang mempromosikan vaksinasi. Hal ini membuat beberapa ahli kesehatan masyarakat mempertanyakan apakah Facebook dapat menjadi forum yang layak untuk berbagi informasi tentang pandemi Covid-19.


- Google mengumumkan kepada mitra periklanannya bahwa mereka akan kembali menerima semua iklan politik pada 24 Februari. Sebelumnya, Google menangguhkan layanan iklan politiknya menyusul pemberontakan yang terjadi di US Capitol pada awal Januari. Lewat larangan itu, pengiklan tidak bisa menjalankan iklan apapun yang mereferensikan sejumlah hal, termasuk kekerasan di US Capitol.


- YouTube menghapus salah satu video terbaru yang diunggah oleh kanal populer PewDiePie milik Felix Kjellberg. Video itu berisi sindiran terhadap kanal anak-anak yang juga populer, Cocomelon. Dalam video ini, Kjellberg menyerang konten Cocomelon dan mengolok-olok anak-anak yang menonton konten tersebut. Video itu dihapus karena melanggar pedoman seputar perisakan daring (cyberbullying) dan keselamatan anak.


- Menurut laporan TechCrunch, WhatsApp menyatakan bakal “meminta pengguna secara perlahan-lahan” untuk mematuhi kebijakan privasi yang baru “agar mendapatkan fungsionalitas maksimal platform” mulai 15 Mei mendatang. Jika pengguna masih tidak menerima persyaratan layanan itu, “dalam waktu singkat, mereka tetap bisa menerima panggilan dan notifikasi, tapi tidak akan dapat membaca atau mengirim pesan dari aplikasi”.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI


Narasi yang menyebut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani surat larangan salat Jumat beredar di media sosial. Klaim itu terdapat dalam sebuah video, yang antara lain memperlihatkan sejumlah pengurus masjid yang sedang berdebat dengan jemaah yang hendak melaksanakan salat Jumat. Video ini juga berisi gambar tangkapan layar cuitan yang berbunyi “Surat Edaran Himbauan Larangan Sholat Berjamaah & Sholat Jum’at di Kupang NTT”.

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim itu keliru. Kementerian Agama telah menyatakan bahwa Yaqut tidak pernah menandatangani surat larangan salat Jumat. Terkait cuitan soal surat edaran yang diklaim berisi larangan salat berjamaah, surat yang dimaksud berisi permintaan dari Pemerintah Kota Kupang, NTT, kepada pengurus masjid untuk meniadakan sementara salat berjamaah. Surat itu ditandatangani oleh Wakil Wali Kota Kupang Hermanus Man, dan ditujukan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.

Sumber : https://newsletter.tempo.co/read/1437675/cekfakta-98-misinformasi-di-layar-televisi/full&view=ok


Kata siapa UMKM tidak perlu melek keamanan siber (cybersecurity) ? Kami akan membahasnya bersama pak Didi Nurcahya, ITIL®️, GSEC - di 16 Feb 2021, pastikan anda terdaftar di https://s.id/eventcerdas16feb . #aptiknas #eventcerdas #dtechcorp #cybersecurity #keamanansiber #cyberawarenes

Comments