Bahar dan Pasukan Sibertikel

 

Ilustrasi media sosial (ipopba)


TOPIK soal siapa yang bisa mengacak-acak ruang publik menjadi diskusi seksi di dalam ruang kelas yang diikuti oleh para mahasiswa dari berbagai daerah.

Mereka penasaran bagaimana ruang yang menjadi arena publik berwacana, berdiskusi, bisa dikendalikan isu-isunya sesuai order dan visinya menyesuaikan kepentingan user yang mengontrak para pasukan siber (cyber troop).

Ruang publik yang dimaskud dalam diskusi kali ini adalah ruang publik kontemporer yang direpresentasikan oleh media publik, media privat, dan media sosial.

Bahar, begitu sapaan mahasiswa yang aktif mengajak diskusi, menyoal bagaimana media publik komersial mainstream (online media), media sosial popular milik privat (WhattAps), media sosial “semi publik” (Twitter, Instagram, Facebook, dll) bisa menjadi arena propaganda untuk kepentingan sektoral para user, baik pengguna dari kalangan pemerintah maupun swasta.

Apakah ini fenomena spesifik di Indonesia atau terjadi juga di seluruh dunia? tanya Bahar.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, dosen menyampaikan ringkasan laporan Computational Propaganda Research Project yang diinisasi Oxford Internet Institute dan University of Oxford, ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip N.
Howard bertajuk Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation.

Laporan riset yang sama diterbitkan sebelumnya dengan judul The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard.

Dalam laporan 2019 dan 2020, terminologi para pendengung (buzzer) di ruang publik dibahasakan dengan diksi “cyber troops”, yang bisa dimaknai sebagai orang yang menyebarkan propaganda politik secara online, terutama di media sosial.

Makna lainnya, pemerintah menggunakan pasukan siber untuk mendiskreditkan lawan politik, mengubur pandangan yang berlawanan, dan mencampuri urusan luar negeri (https://www.macmillandictionary.com).

Samantha Bradshaw, dkk dalam laporan itu mengartikan pasukan siber adalah aktor pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online (Bradshaw & Howard, 2017).

Aktor pemerintah atau partai bisa ditafsirkan pegawai tetap di pemerintah atau di partai, atau perorangan atau lembaga pengelola informasi atau perusahaan yang dikontrak untuk mengelola dan memanipulasi informasi untuk kepentingan user atau pengguna.

Karena itu status pasukan siber dan anggarannya bisa bersifat permanen dan temporal. Penelitian mereka sejak 2016, dengan objek riset organisasi formal pasukan dunia maya di seluruh dunia, dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik.

Laporan 2019 sebagai hasil riset terhadap kegiatan pasukan siber di 70 negara, sementara laporan 2020 mencakup kegiatan pasukan siber pada 81 negara.

Pasukan siber di negara-negara yang menjadi objek riset terakhir adalah Angola, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belarusia, Bolivia, Bosnia & Herzegovina, Brasil, Kamboja, Cina, Kolombia, Kosta Rika, Kroasia, Kuba, Ceko Republik, Ekuador, Mesir, El Salvador, Eritrea, Ethiopia, Georgia, Jerman, Ghana, Yunani, Guatemala, Honduras, Hongaria.

Kemudian India, Indonesia, Iran, Irak, Israel, Italia, Kazakhstan, Kenya, Kirgistan, Kuwait, Lebanon, Libya, Makedonia, Malaysia, Malta, Meksiko, Moldova, Myanmar, Belanda, Nigeria, Korea Utara, Oman, Pakistan, Filipina, Polandia, Qatar, Rusia, Rwanda, Arab Saudi, Serbia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Swedia, Suriah, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris Raya, Amerika Serikat, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, Yaman, dan Zimbabwe.

Dalam laporan 2019 maupun 2020, kegiatan pasukan siber di Indonesia masuk dalam radar Computational Propaganda Research Project tersebut.

Penekanan riset berkaitan dengan kegiatan pasukan siber yang dikelola oleh negara dan aktor politik dalam menggunakan media sosial untuk mengganggu pemilu, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Termasuk di dalamnya mengganggu kebebasan pers. Kalimat lain yang digunakan oleh laporan ini adalah kegiatan negara atau partai politik dalam menggunakan komputasi propaganda untuk mengarahkan opini publik.

Dalam awal laporan disebutkan, kegiatan pasukan siber di berbagai negara makin meningkat, digunakan sebagai alat memengaruhi geopolitik.

Contoh yang ditampilkan pada awal masa pandemi, 2020, negara-negara otoriter seperti Rusia, China, dan Iran memanfaatkan disinformasi virus corona untuk memperkuat narasi anti-demokrasi.

Targetnya, merusak kepercayaan masyarakat kepada pejabat kesehatan dan administrator pemerintah. Terdapat kontradiksi dalam kaitan kegiatan propaganda oleh pasukan siber.

Di satu sisi, sejumlah perusahaan platform yang mendapatkan perangkat platform mereka disalah-gunakan oleh pasukan siber, melakukan pembatasan dan pencegahan.

Facebook dan Twitter dalam laporan Januari 2019 dan November 2020 mencantumkan bahwa para pasukan siber mengakses platform mereka secara berbayar.

Facebook mencatat hampir 10 juta dollar AS dari iklan politik oleh pasukan siber di seluruh dunia. Sebaliknya mereka juga mengumumkan telah menghapus lebih dari 10.893 akun Facebook, 12.588 halaman Facebook, 603 grup Facebook, 1.556 akun Instagram, dan 294.096 akun Twitter yang digunakan untuk kampanya para pasukan siber.

Di sisi lain, pasukan siber yang dikendalikan oleh pemerintah atau aktor partai politik makin gencar berkolaborasi dengan perusahaan komunikasi strategis swasta.

Di sisi lain, pasukan siber yang dikendalikan oleh pemerintah atau aktor partai politik makin gencar berkolaborasi dengan perusahaan komunikasi strategis swasta.

Riset ini mencatat 40 negara pada 2020 melakukan kobalorasi itu, untuk menyebarkan propaganda komputasi atas nama aktor politik.

Nilai kontrak kerja demikian mencapai hampir 60 juta dollar AS (2009-2020). Terdapat empat tahap metode riset yang diterapkan, yaitu: 1) analisis isi sistematis dari artikel berita yang melaporkan aktivitas pasukan siber; 2) tinjauan pustaka sekunder (arsip publik dan laporan ilmiah); 3) menyusun studi kasus negara; 4) konsultasi ahli.

Analisis isi merujuk pada metode analisis konten dalam riset komunikasi dan media. Metode riset tim Computational Propaganda Research Project dalam laporan 2019 dan 2020 menggunakan analisis kualitatif (2020) dan kuantitatif (2019).

Pada riset 2019 sedikit menonjolkan purposive sampling atau teknik pengambilan sampel dengan menentukan kriteria-kriteria tertentu, sementara 2020 lebih menonjol analisis kualitatif.

Dalam memilih dan mengoleksi data, para perisetnya menggunakan platform LexisNexis dan tiga penyedia mesin pencari, yaitu Google, Yahoo, dan Bing.

Kekuatan riset ini ditebalkan dalam metode pemilihan kasus-kasus di negara-negara yang diriset, konsultasi ahli di tingkat lokal atau negara yang terdapat kasus yang menarik.

Penerapan metode ini mengindikasikan riset tentang kegiatan pasukan siber di berbagai negara digarap dengan serius, mengutamakan kesahihan dan responsibilitas riset.

Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/12/170255965/bahar-dan-pasukan-siber?page=all.

Comments