Kenapa Serangan Siber & Hacker Masih Merajalela di ASEAN?

 Ilustrasi peretasan jaringan internet


Serangan siber masih sering terjadi di wilayah Asia Tenggara. Penyebabnya adalah kerentanan yang ada pada perusahaan masih belum ditambal atau unpatched dan jumlahnya 9% lebih banyak dari rata-rata global.

Selain itu, masuknya serangan siber dominan saat melakukan penelusuran tanpa perlindungan virtual private network.
VPN (Virtual Private Network) adalah teknologi yang akan melindungi serta memastikan koneksi tetap aman saat tersambung ke World Wide Web (www). Dengan menggunakan alat proteksi VPN pada ponsel maupun komputer, pengguna dapat mengenkripsi aktivitas online dan melindungi informasi tentang Anda dari segala ancaman.

Kaspersky melaporkan, ada beberapa alasan utama organisasi di Asia Tenggara mengalami kerentanan dari serangan siber karena perangkatnya belum ditambal atau unpatched. Sebanyak 57% sejumlah karyawan inti menolak bekerja dengan perangkat lunak dan perangkat baru.

Selain itu aplikasi internal yang digunakan tidak bisa berjalan di perangkat atau sistem operasi baru sebanyak 52%. Adapula staf C-level dikecualikan menggunakan tools yang pembaruan di perusahaan (45%) dan perusahaan tidak memiliki cukup sumber daya untuk memperbarui semuanya sekaligus (17%).

Laporan Kaspersky juga menyebutkan ada 38% UMKM dan 48% perusahaan di Asia Tenggara bekerja menggunakan sistem operasi yang belum ditambal. Sementara masih ada juga yang menggunakan software yang ketinggalan zaman dan merasa bersalah jumlahnya 33% untuk UMKM dan 43% perusahaan.

Resiko eksploitasi sebenarnya bisa diperkecil dengan perusahaan melakukan perbaikan dan pembaruan secara rutin dan disarankan memang menginstall software versi terbaru sesegera mungkin. Namun masih dalam laporan Kaspersky, 54% organisasi Asia Tenggara masih memiliki tugas penting ini.

Menurut General Manager Kaspersky Asia Tenggara, Yeo Siang Tiong, untuk memperbarui atau memilih versi legal untuk software nampaknya memakan biaya bagi perusahaan. Tapi sebenarnya hal tersebut bisa menjadi investasi jangka panjang untuk menghemat pengeluaran di masa depan.

Dia mengatakan perusahaan yang menggunakan sistem usang atau belum ditambal mengeluarkan biaya lebih banyak dibandingkan yang tidak.

"Faktanya, penelitian kami menunjukkan bahwa perusahaan yang menggunakan sistem usang atau belum ditambal akan membayar US$437 ribu (Rp 6,1 miliar) lebih banyak apabila terjadi pelanggaran data, ini lebih tinggi 126% dibandingkan dengan perkiraan biaya sebesar US$354 ribu (Rp 4,9 miliar) untuk perusahaan yang tidak memiliki teknologi usang," kata Yeo Siang Tiong dalam keterangannya, dikutip Rabu (23/2/2021).

UMKM di Asia Tenggara dapat menghemat pengeluaran 9% jika terjadi serangan jika menggunakan perangkat lunak yang legal dan telah diperbarui. Untuk total kerugian pelanggaran data tunggal pada organisasi kecil hingga menengah yang menggunakan sistem operasi usang mencapai mencapai US$94 ribu atau setara Rp1,3 miliar.

Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210224094828-37-225721/kenapa-serangan-siber-hacker-masih-merajalela-di-asean

Comments