Mengulik Sastra Siber dan Perkembangannya Kini di Indonesia

 

Awalnya kehadiran gerakan sastra siber memunculkan pro dan kontra. (Foto: freepik/rawpixel co.)

GERAKAN sastra siber atau karya sastra yang tayang di internet muncul pada sekitar tahun 90-an. Kemudian pada 2001 kembali mencuat setelah terbitnya buku antalogi puisi siber Graffiti Gratitude pada 9 Mei 2001. Penerbitan antalogi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam Yayasan Multimedia Sastra (YMS).

Di luar medium konvensional cetak, internet menghadirkan cara distribusi baru. Pada tahun 90-an muncul laman Cybersastra yang cukup aktif menerbitkan karya maupun kritik. Sayangnya laman ini sudah tidak aktif lagi. Posisi laman ini dilanjutkan oleh laman Mediasastra yang tidak terlalu aktif dalam menerbitkan kritik. Banyak pula penulis pemula yang menulis ulasan, apresiasi, maupun kritik dalam blog pribadi.

Kemudian, muncul pula grup-grup di sosial media yang khususkan dalam mendiskusikan sastra koran. Di Facebook misalnya, ada grup sastra koran minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi, dan esai yang dimuat dalam koran minggu.

Medium internet menawarkan kemajuan dalam kritik sastra karena lebih mudah diakses, tidak terbatas dalam panjang tulisan, memungkinkan lebih banyak kritikus yang muncul, serta memungkinkan diskusi yang lebih intens.

"Pada masanya, kehadiran gerakan sastra siber memunculkan pro dan kontra. Dalam buku yang dieditori Saut Situmorang terangkum berbagai reaksi negatif dan positif kehadiran gerakan tersebut," demikian ditulis esais dan cerpenis Yulhasni di situs Balai Bahasa Sumatera Utara.

Dia mencontohkan, Ahmadun Yosi Herfanda dalam artikelnya berjudul Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah yang secara terang-terangan menyebut puisi yang terbit di internet sebagai 'tong sampah'. Itu karena karya yang terbit di internet adalah jenis sastra yang tidak bisa terbit di media cetak.

Selain itu, ujarnya, penyair ternama Sutardji Coulzoum Bachri menyebutnya sebagai "t*i yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan".

"Begitu keras dan tajam penghinaan terhadap kehadiran sastra di internet tidak serta merta kemudian mematikan kecederungan itu. Justru karena tekanan yang bertubi-tubi tersebut membuat sastra internet mendapat tempat tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia," tulis Yulhasni.

Sastra internet pun kemudian makin berkembang. Pembicaraan paling dinamis mengenai karya sastra berpindah ke media sosial. Para pembaca dijangkau melalui Facebook, Twitter, Instragram, situs atau blog pribadi, dan bahkan TikTok.

Membaca cerpen dan puisi di situs media digital pun menjadi lumrah. Salah satunya kamu dapat mengaksesnya melalui social commerce KaryaKarsa. Novel digital melimpah dengan banyak pilihan yang gratis maupun berbayar seperti di Storial. Para penerbit juga mengeluarkan versi buku digital menjadi yang sudah alternatif menguntungkan. Kalau penulis berhasil menerbitkan karya di media cetak pun, pasti kemudian disebar lebih luas melalui foto ke media sosial dan grup Whatsapp.

Sastra siber sudah mengambil alih dominasi karya cetak dan telah menjadi arus utama penyebaran karya. Pencarian penulis baru dilakukan di media sosial, jumlah pengikut menjadi salah satu pertimbangan layak tidaknya naskah seseorang diterbitkan.

"Menuangkan gagasan dan ide di mana saja adalah hak pribadi setiap manusia. Ide dan gagasan dalam bentuk apapun, sepertinya halnya sastra internet, membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang 'memberontak' terhadap kemapanan, terhadap estetika yang lazim, dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak," Yulhasni menambahkan.

Berawal dari tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sastra. Kini, sastra siber menjadi lahan subur berbagai karya sastra yang dengan lentur melintasi berbagai genre, bahasa, dan batas negara. (aru)

Sumber : https://merahputih.com/post/read/mengulik-sastra-siber-dan-perkembangannya-kini-di-indonesia

Comments