Netizen, Amankan Dirimu dari Copet dan Jambret Online!


Masyarakat Indonesia sangat disarankan mengamankan diri masing-masing dari berbagai risiko kriminalitas online (cyber crime) yang berpotensi kian meningkat di tahun ini.

"Cyber crime terus naik menjadi keniscayaan ketika aktivitas masyarakat Indonesia, terutama untuk digital banking, terus naik belakangan," kata Nur Islami Javad, Chief Digital startup e-commerce fintech dan lembaga riset telematika Sharing Vision, dalam podcast "Sharing Vision IT Business Outlook 2023", Sabtu (7/1/2023).

"Jadi, copet dan jambret itu sekarang banyak di WhatsApp, ada di macam-macam aplikasi. Saldo bisa tiba-tiba hilang, bahkan teman saya bisa hilang akun YouTube setelah diretas hanya dalam 15 detik," ujarnya.

Akhir tahun lalu, Sharing Vision menyurvei sekitar 7.000 responden terkait perilaku masyarakat Indonesia dalam bidang e-channel, fintech, e-commerce, dan e-lifestyle 2022. Sebelumnya, di akhir 2021, riset sejenis dilakukan dengan 1.000 responden.

Dicky Wizanajani, Senior Consultant Sharing Vision, mengungkapkan bahwa kedua survei menunjukkan benang merah hampir serupa terutama untuk perbankan digital. Sekalipun jauh usianya dari perbankan konvensional, nasabah digital banking Indonesia per 2022 sudah 81 juta orang.

"Tahun ini kami perkirakan mencapai 100 juta pengguna. Ketika digitalisasi kian menyeruak, otomatis resiko pun akan meningkat. Bahkan sudah sy temukan ada kelompok 20-40 orang yang profesinya bidang cyber crime khususnya untuk perbankan dan pembayaran ini. Mereka sindikat ahli," katanya.

Kedua survei menemukan bahwa situasi ini tak terlepas dari betapa lekatnya masyarakat Indonesia di dunia maya, manakala 60% responden mengaku bahwa hampir separuh dari 24 jam hidupnya, digunakan berinteraksi di internet.

Responden yang menggunakan mobile banking lebih dari 10 kali per bulan, tumbuh 150% dalam setahun terakhir. Sebanyak 26% responden pernah membuka rekening di bank digital, 5% responden pernah mendaftar aplikasi kartu kredit secara daring, dan 94% responden telah menggunakan e-money.

Selanjutnya, 81% responden pernah bertransaksi menggunakan QR Code dan 89%-nya menggunakan QRIS dengan motivasi utama transaksi di kafe/restoran serta 35% dari responden mengaku frekuensi belanja online-nya meningkat dalam tiga bulan terakhir, lalu 45% mengaku tetap, dan hanya 20% yang menurun.

Dengan situasi tersebut, sebut Nur Islami Javad, maka yang harus dilakukan adalah mengamankan diri masing-masing dari berbagai celah keamanan. Masyarakat harus waspada, cermat, dan teliti dengan nomor ponsel masing-masing, terutama saat mengakses berbagai platform e-lifestyle tadi.

"Apalagi sekarang channel untuk semua keperluan makin mudah. Misal untuk fintech, crypto wallet sudah bisa transaksi sendiri atau di gerai minimarket yang sudah ada di semua penjuru negeri. Peluang semuanya jadi terbuka lebar. Tapi ingat, kita harus selalu waspada dengan risikonya," katanya.

Sementara itu, Pakar Hukum Teknologi Informasi dari Universitas Padjadjaran, bandung, Jawa Barat, Danrivanto Budhijanto, berpendapat, pandemi telah membuat rekognisi dan urgensi pelindungan data pribadi (PDP) menjadi sangat fundamental dan esensial bagi masyarakat Indonesia mutakhir.

"Para penyedia platform aplikasi layanan virtual itu melakukan kegiatan pengumpulan data, penelisikan data, dan analisis perilaku interaksi data," katanya.

"Karenanya, kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 sebagai Lex Digitalis Data merupakan wujud hukum pelindungan data pribadi yang terkoneksi, berinteraksi, dan bertransaksi data digital melalui layanan perbankan di ekosistem cyberspace," tutupnya.


Comments