Tahun Politik, Tren Ancaman Siber Naik

Menjelang Pemilihan Umum 2024, ancaman siber diperkirakan meningkat seiring dengan semakin masifnya penggunaan ruang siber untuk kepentingan politik. Untuk mendeteksi dini kemungkinan ancaman, dan hambatan di tahun politik, Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN telah membentuk Satuan Tugas Pengamanan Pemilu yang akan melakukan operasi keamanan hingga pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

Prediksi peningkatan ancaman pada keamanan siber menjelang tahun politik disampaikan Kepala BSSN Hinsa Siburian dalam konferensi pers bertajuk ”Lanskap Keamanan Siber Indonesia Tahun 2022”, Senin (20/2/2023). Tak hanya serangan forensik atau serangan teknis yang menyasar infrastruktur keamanan digital, ancaman juga bisa berupa serangan sosial seperti beredarnya berita bohong atau hoaks yang bisa memecah belah persatuan bangsa.

”Kami sadari ancaman melalui media siber yang bersifat sosial ini juga harus benar-benar diwaspadai karena pusat kekuatan bangsa Indonesia ada di persatuan. Ini sangat rentan untuk diserang melalui ruang siber,” tuturnya.

Oleh karena itu, memasuki tahun politik, BSSN mengimbau masyarakat agar tidak terlalu cepat merespons berita yang tidak jelas sumbernya. Apalagi berita yang menyebarkan ujaran kebencian dan kabar bohong.

Selain itu, BSSN sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Pemilu 2024 yang akan melakukan operasi keamanan hingga hari pemungutan suara. BSSN juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendeteksi dini kemungkinan ancaman, dan hambatan di tahun politik. Selain dengan KPU RI, BSSN juga bekerja sama dengan KPU provinsi dan kabupaten/kota untuk mengasistensi kerawanan siber yang bisa diantisipasi. Di luar itu, BSSN juga akan melakukan operasi keamanan hingga hari pemungutan suara.

Tindak lanjut rendah

Di tahun politik, ancaman siber terhadap kementerian dan lembaga pemerintah juga diprediksi akan meningkat. BSSN secara rutin mengirimkan notifikasi terkait upaya menginfeksi keamanan siber. Namun, kepatuhan instansi untuk menindaklanjutinya masih rendah.

Dalam laporan tahunan BSSN disebutkan, jumlah notifikasi terkait upaya infeksi keamanan siber yang dikirim ke kementerian dan lembaga meningkat. Pada 2021, BSSN mengirimkan 1.261 notifikasi ke semua kementerian dan lembaga. Namun, hanya 72 notifikasi atau 6 persen yang direspons.

BSSN mengimbau kepada masyarakat agar tidak terlalu cepat merespons berita yang tidak jelas sumbernya. Apalagi berita yang menyebarkan ujaran kebencian dan kabar bohong.

Tahun 2022 ini, ada total 1.433 notifikasi yang dikirimkan kepada kementerian dan lembaga. Namun, tingkat kepatuhan kementerian dan lembaga dalam menindaklanjuti notifikasi itu juga masih rendah. Akan tetapi, BSSN belum merekap berapa jumlah notifikasi yang direspons oleh kementerian dan lembaga.

Menurut Hinsa, faktor yang menyebabkan tren serangan keamanan siber meningkat adalah karena semakin tingginya penggunaan teknologi digital dalam pemerintahan. Dengan diterapkannya Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), kerawanan terhadap serangan digital semakin meningkat.

Dia berharap kemampuan kementerian dan lembaga semakin meningkat dalam menindaklanjuti notifikasi dari BSSN. Oleh karena itu, peningkatan sumber daya manusia yang bertugas di keamanan digital mutlak dilakukan. BSSN telah melakukan sejumlah program seperti literasi media dan digital, sekolah politeknik siber, hingga memberikan beasiswa kepada pegawai baik di dalam dan di luar negeri agar menjadi tenaga ahli dalam bidang keamanan siber.

”Pemerintah sedang giat-giatnya mendorong kementerian dan lembaga agar masuk dalam sistem pemerintahan berbasis elektronik. Semua proses pelayanan masyarakat akan lebih baik, mudah, dan efisien. Ini diharapkan juga bisa mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme,” katanya.

Sanksi tegas

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, setelah Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) disahkan, pemerintah berfokus pada percepatan pembentukan lembaga pengawas dan pelaksana UU tersebut. Salah satu fungsinya adalah memastikan semua pihak mematuhi aturan pelindungan data pribadi, termasuk aturan pengamanan data.

Dengan adanya rezim UU PDP, lanjutnya, kementerian dan lembaga seharusnya segera melakukan langkah-pangkah internal guna melindungi data publik. Apalagi, Presiden Joko Widodo berkali-kali menginstruksikan kementerian dan lembaga untuk melakukan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

”Mengacu pada hal itu, seharusnya instansi pemerintah melakukan pijakan awal berupa perbaikan keamanan siber. Ini menjadi awalan sebelum UU PDP benar-benar diterapkan dua tahun mendatang,” katanya.

Wahyudi juga menyebut bahwa di rezim UU PDP, baik pengendali data swasta maupun pemerintah semua terikat dengan aturan teknis pelindungan data pribadi. Sebelum regulasi itu resmi berlaku, seharusnya semua pihak mempersiapkan infrastruktur keamanan digitalnya agar tahan dari serangan.

Dia juga berharap nantinya lembaga pengawas pelindungan data pribadi memiliki kedudukan yang kuat untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Menurut dia, dalam diskusi dengan pemerintah, format otoritas pengawas itu cenderung lembaga pemerintah nonpemerintah. Dengan demikian, untuk bisa mengawasi dengan optimal, perlu dibekali regulasi yang kuat agar lembaga itu bisa independen, dan bertaji.

”Meskipun bagian dari pemerintah, buat lembaga otoritas yang kuat seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau Badan Narkotika Nasional (BNN). Supaya bisa mengawasi dengan baik," ungkapnya.


Sumber : https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/02/20/tahun-politik-tren-ancaman-siber-naik

Comments