Sistem Informasi GRK, Partisipasi Indonesia Kendalikan Perubahan Iklim


 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meresmikan Sistem Informasi Gas Rumah Kaca Terintegrasi Global untuk pemantauan Gas Rumah Kaca (GRK) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch/GAW) Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

JAKARTA - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meresmikan Sistem Informasi Gas Rumah Kaca Terintegrasi Global untuk pemantauan Gas Rumah Kaca (GRK) di Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch/GAW) Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Peresmian tersebut dalam rangka memperingati Hari Meteorologi Dunia (HMD) Ke-73. Peresmian sistem informasi GRK yang diselenggarakan pada 20 Maret itu senada dengan tema HMD 2023, yakniThe Future of Weather, Climate, and Water Across Generationsatau Masa Depan Cuaca, Iklim, dan Air untuk Lintas Generasi.

Melalui sistem informasi GRK, itu memberikan bukti partisipasi Indonesia dalam mengendalikan perubahan iklim. Di situ akan terlihat perkembangan gas rumah kaca, salah satunya konsentrasi CO2 atau karbondioksida sebagai salah satu yang dianggap paling sensitif meningkatkan suhu global.

Perubahan iklim telah menjadi isu yang terus diperhatikan masyarakat dunia karena memiliki dampak dan risiko yang besar, terlebih pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang. Karenanya, perlu aksi pengendalian perubahan iklim yang konkret dari seluruh lapisan masyarakat

Melalui sistem informasi terintegrasi global di GAW Bukit Kototabang itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengharapkan data GRK yang dihasilkan dapat menjadi kontribusi penting untuk global, sebagai representasi pemantauan dari wilayah ekuatorial tropis.

Sistem informasi GRK yang dibangun itu terdiri atas beberapatowerpemantau GRK setinggi 100 meter, yang dilengkapi dengan sensor meteorologi yang berfungsi melakukan pemantauan di tiga titik ketinggian, yaitu masing-masing 30 meter, 70 meter, dan 100 meter.

Pemantauan GRK daritowerakan memberikan gambaran profil GRK pada ketinggian yang berbeda dan menjadi wujud kontribusi Indonesia pada umumnya, dan BMKG pada khususnya dalam program Integrated Global Greenhouse Gas Information System (IG3IS).

Pemantauan GRK melalui IG3IS ini akan digunakan lebih lanjut dalam mengembangkan pemodelan untuk emisi GRK sebagai informasi komplementer inventarisasi GRK nasional, utamanya untuk estimasi globalstocktakeyang mewujudkan salah satu target dari Perjanjian Paris agar mempertahankan suhu global 1,5 derajat Celcius atau di bawah dua derajat Celcius.

Mempertahankan suhu global sangat penting, karena apabila tidak dijaga maka akan menyebabkan perubahan iklim yang dapat memicu berbagai peristiwa alam, mulai dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.

Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) dalamState of the Climate 2022yang terbit awal tahun 2023 mencatat, periode 2015-2022 menjadi delapan tahun terpanas. Tahun 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas sepanjang catatan WMO dengan anomali sebesar 1,2 derajat Celcius dibandingkan periode revolusi industri.

BMKG pun mencatat, 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia, dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celcius sepanjang periode pengamatan 1981-2020.

Akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrem pun lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi makin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.

Dampak ke Indonesia

Analisis BMKG menyebutkan perubahan iklim akan membuat es di puncak Jayawijaya, Papua, pada tahun 2025 diprakirakan sudah tidak ada lagi, habis karena suhu pada atmosfer Bumi yang ditimbulkan oleh efek gas rumah kaca terus meningkat.

Saat ini, es di puncak Jayawijaya hanya tersisa kurang lebih dua kilometer persegi atau tinggal satu persen dari luas awalnya sekitar 200 kilometer persegi.

Selain es di puncak Jayawijaya mencair, potensi terjadinya hujan ekstrem juga akan semakin sering terjadi. Bahkan, Indonesia sempat mengalami hujan dengan intensitas sangat tinggi, yakni mencapai 377 milimeter pada Januari tahun 2020, yang menyebabkan banjir besar di wilayah Jabodetabek.

Padahal, batasan hujan ekstrem harusnya 150 mm. Menurut analisis BMKG, hujan dengan kondisi ekstrem hingga 377 mm itu harusnya turun beberapa ratus tahun ke depan.

Pengaruh perubahan iklim juga memicu terjadinya seruak udara dingin (cold surge) dari dataran Tibet yang selanjutnya masuk ke wilayah Indonesia dan dapat mengakibatkan peningkatan intensitas hujan ekstrem.Cold surgesendiri merupakan seruakan yang mengandung massa udara dingin dari daratan Asia ke arah selatan.

Artinya, perubahan iklim inilah yang kemudian menjadi biang keladi cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia. Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es. Meski perubahan iklim merupakan peristiwa global, namun dampaknya bisa dirasakan oleh Indonesia.

Kontribusi

Di tengah suasana perayaan Hari Meteorologi Dunia, diharapkan dapat dijadikan momentum bagi masyarakat global, termasuk Indonesia, turut berkontribusi menahan laju pemanasan global.

Beberapa hal dapat dilakukan secara sederhana, dapat dimulai dari hal-hal yang terlihat gampang dan sepele, mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menerapkanreduce, reuse, recycle(3R), menanam tanaman atau pohon, berjalan kaki, bersepeda, atau gunakan transportasi umum, dan hemat energi.

Meskipun terlihat sepele, namun langkah kongkret itu berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim.

Misal, gerakan menanam tanaman produktif di halaman rumah seperti sayuran dan buah-buahan. Kegiatan itu dinilai dapat mengurangi pemanasan global sekaligus memperkuat ketahanan pangan.

Cara ini sebetulnya cukup mudah dilakukan mengingat banyak sekali barang bekas yang ada di rumah untuk jadikan pot untuk tempat tanaman.

Dari hal kecil inilah masyarakat bisa mempertahankan kelangsungan kehidupan pada masa yang akan datang.

Mulai dari diri kita, rumah kita, dan juga lingkungan kita, demi masa depan Bumi yang lebih layak untuk kehidupan.

Sumber : https://koran-jakarta.com/sistem-informasi-grk-partisipasi-indonesia-kendalikan-perubahan-iklim

Comments