Digiweek 2023: Awareness Tentang Perlindungan Data Pribadi Masih Perlu Sosialisasi

 

Project Manager for Data Policy and Governance, TIFA Foundation, Debora Irene Christine, dalam Sesi Webinar Digiweek 2023 bertajuk "Gara-Gara Data: Hak atas Privasi Kita di Dunia Digital" yang digelar oleh Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) menuturkan, baik di Undang-Undang PDP maupun peraturan perundangan sebelumnya yang hadir sebelum UU PDP, bisa dilihat bahwa perlindungan data pribadi adalah tanggung jawab bersama.

"Di satu sisi betul pengguna itu harus melek, harus paham hak-hak dia apa, ketika ada permintaan mengumpulkan data pribadi dia harus bertanya 'ini dasar pemrosesannya itu apa?' Apakah untuk penyediaan layanan atau apakah ada dasar hukumnya?" ungkapnya, dikutip Rabu (12/7/2023).

Ia menambahkan, upaya melakukan perlindungan data pribadi sudah harus menjadi tanggung jawab bersama tidak hanya dari praktisi atau penggunanya saja. Ada banyak risiko terkait data pribadi yang bisa dialami pengguna saat beraktivitas di ruang digital online, tetapi yang menjadi sorotan adalah diskursus atau wacana di publik agak berat di bagian literasi digital dan lebih membebankan tanggung jawab perlindungan data pribadi di pengguna saja.

Debora menambahkan, tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk menyadari hak-haknya terhadap berbagai kejadian atau insiden kebocoran data yang sudah terjadi. Hal itu menandakan sosialisasi mengenai data dan urgensi perlindungannya masih sangat besar.

Hal itu juga menunjukkan, tanggung jawab perlindungan data menjadi lebih berat di pengelola dan pemroses data pribadi serta negara. Mereka seharusnya bisa memastikan pemenuhan hak-hak subjek data pribadi tersebut. Menurutnya, sekalipun sudah ada usaha dari segi perilaku untuk menjadi bersih secara digital, tetap ada risiko data diretas atau bocor kemudian disalahgunakan oleh orang-orang lain.

"Jadi, inilah kenapa pemahaman bahwa perlindungan data pribadi itu seharusnya menjadi tanggung jawab bersama supaya pertanggungjawabannya tidak difokuskan hanya di pengguna sebagai subjek data pribadi ataupun menjadi tanggung jawab pengelola atau pemroses data pribadi semata. Jadi, hak dan tanggung jawabnya harus proporsional dan tergantung konteks," tambahnya.

Serupa dengan dengan Debora, Founder Ethical Hacker Indonesia, Teguh Aprianto, mengungkapkan keresahan yang sama. Menurutnya, yang sering kali terjadi di Indonesia adalah munculnya kondisi ketika praktisi sudah melakukan tugasnya, tapi regulator dan pihak-pihak lainnya tidak melakukan tugasnya. Adanya kesenjangan antara regulasi dengan dinamika ini memunculkan celah-celah pelanggaran yang terlambat diatasi oleh regulasi yang baru muncul.

"Seperti kasus terbaru adalah kebocoran data paspor WNI, saya melakukan verifikasi dan saya publish, dan akhirnya pernyataan terakhir dari Dirjen Imigrasinya malah menyepelekan. Jadi kesannya seperti, tingkat kepedulian masyarakatnya sudah tinggi, penanggung jawabnya ini yang tingkat kepeduliannya masih rendah," ujar Teguh.

Teguh menambahkan, jika hal tersebut terus terjadi berulang kali, dampak kebocoran data akan lebih berat ke para penggunanya. Menurutnya, penipuan yang kerap terjadi karena kebocoran data, bukan hanya masalah literasi digital, melainkan ada faktor-faktor lain yang bisa membuat calon korban yang tidak fokus sehingga tidak sadar dirinya menjadi korban penipuan.

Sumber : https://wartaekonomi.co.id/read506935/digiweek-2023-awareness-tentang-perlindungan-data-pribadi-masih-perlu-sosialisasi

Comments