Kawasan ASEAN Masih Rentan terhadap Kejahatan Siber

 JAKARTA, KOMPAS  — Meski ekonomi digital terus berkembang di Asia Tenggara, belum semua masyarakat terliterasi digital secara optimal. Tingkat keterampilan berpikir kritis dan melindungi privasi belum merata antarnegara di kawasan ASEAN. Mereka rentan menjadi korban kejahatan siber.

Dalam laporan penelitian ”One Divide or Many Divides? Underprivileged ASEAN Communities’ Meaningful Digital Literacy and Response to Disinformation” yang dirilis ASEAN Foundation dan didukung Google.org, akhir pekan lalu, tingkat keterampilan berpikir kritis masih bervariasi di seluruh kawasan ASEAN. Thailand berada di tingkat terendah (25 persen) dan Kamboja pada tingkat tertinggi (62,2 persen). Tingkat kompetensi perlindungan privasi juga masih bervariasi, dengan Filipina di tingkat terendah (17,42 persen) dan Singapura tertinggi (54,37 persen).

Indonesia, yang porsi ekonomi digitalnya berkontribusi 42 persen terhadap kawasan Asia Tenggara, disebut dalam penelitian sebagai negara yang menghadapi ketimpangan keterampilan berpikir kritis dan kompetensi perlindungan privasi yang kompleks. Penyebabnya ialah tantangan geografis serta kesenjangan jender, disabilitas, dan status sosial ekonomi.

Salah satu temuan penelitian yang menarik dalam laporan itu adalah sebanyak 73,4 persen responden remaja Indonesia yang diteliti merasa privasi mereka sangat terlindungi. Sementara hanya 13,7 persen kelompok lansia berpendapat serupa. Responden Indonesia yang berumah tangga dan tidak memiliki anak cenderung memiliki persentase berpikir kritis lebih tinggi (63,7 persen), sedangkan mereka yang berumah tangga dan memiliki anak mempunyai kemampuan berpikir kritis lebih rendah (33,6 persen).

https://cdn-assetd.kompas.id/R6Fe1WKh0PNBKGEipTIqRip4xM4=/1024x1929/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F08%2F20220108-H04-LHR-Barometro-ponsel-internet-mumed_1641650661_png.png

Pemegang gelar universitas, berapa pun usianya, disebut dalam laporan penelitian sebagai warga yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi mengenai informasi digital. Di Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, misalnya, banyak lulusan universitas bekerja di instansi pemerintah sehingga lebih mahir dalam memberikan informasi digital.

Keterampilan berpikir kritis merupakan fondasi untuk kemampuan memberikan informasi, berbagi berita, perlindungan privasi, dan membangun kepercayaan di media sosial.

Penggunaan media sosial sebagai sarana membangun komunitas berada pada tingkat yang tinggi, yaitu lebih dari 65 persen. Adapun aktivitas tertinggi di media sosial ialah mengomentari konten. Pada masyarakat kurang mampu, mereka aktif di media sosial, tetapi caranya dengan lebih banyak memberikan komentar.

Temuan menarik lainnya adalah aplikasi yang bersifat pribadi dan komersial, seperti e-banking dan e-commerce, telah menjadi aplikasi utama, bahkan di kalangan masyarakat di daerah-daerah yang secara ekonomi kurang beruntung di Indonesia. Sementara aplikasi layanan publik menjadi aplikasi yang penggunaannya sekunder, seperti aplikasi layanan pajak daring.

Ketua Siberkreasi dan Co-founder ICT Watch Donny BU, berpendapat, keterampilan berpikir kritis merupakan fondasi untuk kemampuan memberikan informasi, berbagi berita, perlindungan privasi, dan membangun kepercayaan di media sosial. Ada tiga program untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis di masyarakat. Program pertama adalah memberikan pemahaman teknik verifikasi dengan fitur teknologi.

Sejumlah siswa secara serentak mengunggah video blog atau vlog di SMP Negeri 5 Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023). Pembuatan vlog terbanyak oleh pelajar dengan 1.984 video itu meraih Piagam Penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Program kedua dengan memberikan kemampuan untuk kreatif dan memproduksi informasi secara produktif dan positif. Hal ini bisa dikemas dengan edukasi optimasi penggunaan media sosial dan pelatihan penulisan ala jurnalisme warga.

”Program ketiga ialah memberikan pengalaman baik tentang bagaimana melakukan diseminasi informasi beretika. Hal ini dapat diwujudkan lewat diskusi atau debat yang konstruktif di ruang daring,” kata Donny, Senin (25/3/2024), di Jakarta.

Direktur Eksekutif Siber Sehat Indonesia Ibnu Dwi Cahyo, mengatakan, ancaman kejahatan siber dan disinformasi terjadi bukan hanya di perkotaan. Dia mengamati, kerawanan kebocoran data pribadi juga telah sampai perdesaan. Akan tetapi, masyarakat di sana tidak mendapat edukasi tentang keamanan siber yang optimal.

”Korban kejahatan siber dan disinformasi telah merata di perkotaan dan perdesaan. Bagi masyarakat perdesaan, kami mengamati masih ada kecenderungan mereka kebingungan melapor atau mengadu ketika menjadi korban,” ucap Ibnu.

Kerawanan kebocoran data pribadi juga telah sampai perdesaan. Akan tetapi, masyarakat di sana tidak mendapat edukasi tentang keamanan siber yang optimal.

Ibnu menyarankan agar pemerintah membuat satuan tugas khusus literasi digital sampai di desa-desa. Selanjutnya, pemerintah melibatkan lembaga pendidikan untuk memberikan literasi digital kepada anak-anak usia dini.

Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Piti Srisangnam, mengemukakan, laporan penelitian ”One Divide or Many Divides? Underprivileged ASEAN Communities’ Meaningful Digital Literacy and Response to Disinformation” merekomendasikan strategi kolaboratif untuk mengatasi masalah kesenjangan literasi digital. Salah satunya adalah melibatkan komunitas masyarakat dan organisasi non-pemerintah.

sumber :  https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/03/25/tingkat-keterampilan-berpikir-kritis-dan-melindungi-privasi-belum-merata

Comments