JawaPos.com - Satelit orbit rendah seperti Starlink disebut akan beroperasi di Tanah Air. Keberadaan satelit tersebut dikritisi karena berpotensi mengancam kedaulatan siber Indonesia dan memperbesar risiko separatisme di Papua.
Potensi itu diungkap oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (SKSG UI). Ketua Prodi SKSG UI Muhamad Syauqillah mengatakan, jika satelit dengan dengan teknologi Low Earth Orbit Satellite (LEO) tak memiliki kerja sama degan perusahaan jasa telekomunikasi di Indonesia akan memperbesar risiko terhadap kedaulatan siber dan potensi risiko separatisme di Papua. Pasalnya, Starlink tidak memiliki NOC, Gateway, dan IP Address.
Hingga saat ini Starlink tidak pernah membangun NOC, Gateway, dan IP Address di negara yang mereka layani. Seluruh perangkat telekomunikasi Starlink berada di Amerika Serikat (AS). Apalagi dalam operasionalnya, Starlink mengadopsi teknologi Inter Satellite Link (ISL). Dengan tekonologi ini seluruh data telekomunikasi yang terjadi di Starlink langsung masuk dan dikontrol di Amerika.
"Dengan seluruh perangkatnya tidak ada di Indonesia, maka kontrolnya ada di negara lain," ujar Muhamad Syauqillah kepada wartawan di Jakata, Minggu (21/4).
Menurut Muhamad Syauqillah, hal itu akan mempersulit penegak hukum di Indonesia untuk mengawasi dan mengontrol Starlink. Teknologi ISL ini memungkinkan Starlink dapat menghindari gateway internet Indonesia, sehingga negara tak memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan internet seperti trust positive dan kewajibannya lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
"Dari sisi ini kami melihat Indonesia sebagai negara berdaulat penuh menjadi tak memiliki kedaulatan siber atas badan usaha yang melakukan usaha di Indonesia," sambungnya.
"Kajian yang pernah kita lakukan adalah jika Starlink ingin beroperasi di Indonesia, kami merekomendasikan agar mereka tak menjual produknya langsung ke konsumen. Jika ingin menjalankan bisnisnya Starlink bisa bekerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi yang sudah ada di Indonesia,” ucap Syauqillah.
Prosedur dan mekanisme pengajuan izin bagi penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dibuat oleh Kemenkominfo. Bagi badan usaha yang hendak menjalankan usaha jasa telekomunikasi, regulator telah mewajibkan agar memiliki NOC, server, hub, NMS (Network Monitoring System). Selain itu mereka harus menggunakan autonomous system (AS) Number, IP address di Indonesia.
Perangkat itu semuanya bukan sekadar dummy. Namun keberadaannya fisiknya harus ada dan ditaruh di Indonesia. Tujuannya untuk mendukung lawful intercept. Jika Starlink tetap tak ingin memenuhi seluruh persyaratan dan prosedur tersebut, Syauqillah menilai kerja sama dengan penyelenggara jasa telekomunikasi bisa menjadi jalan tengah bagi mereka untuk dapat memberikan layanan telekomunikasi di Indonesia.
Syauqillah berpendapat, Starlink penuhi saja seluruh mekanisme dan prosedur yang telah dibuat Kemenkominfo. Seluruh prosedur tersebut harus menjadi acuan untuk seluruh perusahaan telekomunikasi yang ingin berinvestasi di Indonesia. Jika Starlink beroperasi di Indonesia tanpa memenuhi seluruh mekanisme dan prosedur yang berlaku, maka Indonesia tak memiliki kedaulatan siber. Ini menjadi potensi ancaman keamanan nasional.
Pemerintah seharusnya tak hanya sekadar mempertimbangkan adanya potensi investasi yang masuk dari kehadiran Starlink di Indnesia. Pemerintah juga harus dapat mempertimbangkan isu-isu keamanan, pertahanan dan ancaman separatisme di Papua ketika hendak memberikan izin bagi Starlink.
sumber : https://www.jawapos.com/bisnis/014561174/kehadiran-starlink-disebut-berpotensi-ancam-kedaulatan-siber-nasional
Comments
Post a Comment